Kode Etik Polri



BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA


No. 608, 2011 KEPOLISIAN NEGARA RI. Kode Etik. Penegakan. Sanksi.


PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 14 TAHUN 2011
TENTANG
KODE ETIK PROFESI KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang: a. bahwa pelaksanaan tugas, kewenangan, dan tanggung jawab anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia harus dijalankan secara profesional, proporsional, dan prosedural yang didukung oleh nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Tribrata dan Catur Prasetya dijabarkan dalam kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai norma berperilaku yang patut dan tidak patut;
b. bahwa penegakan kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia harus dilaksanakan secara obyektif, akuntabel, menjunjung tinggi kepastian hukum dan rasa keadilan (legal and legitimate), serta hak asasi manusia dengan memperhatikan jasa pengabdian anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diduga melanggar kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia;
c. bahwa selaras dengan ketentuan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang mengamanatkan pengaturan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia;

Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4255);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4256);
4. Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia;


MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TENTANG KODE ETIK PROFESI KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:

1. Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disingkat Polri adalah alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.
2. Anggota Polri adalah pegawai negeri pada Polri dari pangkat terendah sampai dengan pangkat tertinggi yang berdasarkan undang-undang memiliki tugas, fungsi, dan wewenang kepolisian.
3. Profesi Polri adalah profesi yang berkaitan dengan tugas Polri baik di bidang operasional maupun di bidang pembinaan.
4. Etika Profesi Polri adalah kristalisasi nilai-nilai Tribrata dan Catur Prasetya yang dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila serta mencerminkan jati diri setiap Anggota Polri dalam wujud komitmen moral yang meliputi etika kenegaraan, kelembagaan, kemasyarakatan, dan kepribadian.
5. Kode Etik Profesi Polri yang selanjutnya disingkat KEPP adalah norma-norma atau aturan-aturan yang merupakan kesatuan landasan etik atau filosofis yang berkaitan dengan perilaku maupun ucapan mengenai hal-hal yang diwajibkan, dilarang, patut, atau tidak patut dilakukan oleh Anggota Polri dalam melaksanakan tugas, wewenang, dan tanggung jawab jabatan.
6. Komisi Kode Etik Polri yang selanjutnya disingkat KKEP adalah suatu wadah yang dibentuk di lingkungan Polri yang bertugas memeriksa dan memutus perkara dalam persidangan pelanggaran KEPP sesuai dengan jenjang kepangkatan.
7. Sidang KKEP adalah sidang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran KEPP yang dilakukan oleh Anggota Polri.
8. Pelanggaran adalah setiap perbuatan yang dilakukan oleh Anggota Polri yang bertentangan dengan KEPP.
9. Terduga Pelanggar adalah setiap Anggota Polri yang karena perbuatannya atau keadaannya patut diduga telah melakukan Pelanggaran KEPP.
10. Pelanggar adalah setiap Anggota Polri yang karena kesalahannya telah dinyatakan terbukti melakukan Pelanggaran melalui Sidang KKEP.
11. Penegakan KEPP adalah serangkaian tindakan pejabat Polri yang diberi kewenangan menurut peraturan ini, untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan, pemeriksaan di Sidang KKEP, pemeriksaan Sidang Komisi Banding Kode Etik Polri terhadap Anggota Polri yang diduga melakukan Pelanggaran KEPP dan rehabilitasi Anggota Polri yang dinyatakan sebagai Pelanggar atau tidak terbukti sebagai Pelanggar.
12. Pemeriksaan Pendahuluan KEPP adalah serangkaian tindakan pemeriksa untuk melakukan audit investigasi, pemeriksaan, dan pemberkasan perkara guna mencari serta mengumpulkan fakta dan/atau bukti yang dengan fakta dan/atau bukti itu membuat terang tentang terjadinya Pelanggaran KEPP dan menemukan pelanggarnya.
13. Audit investigasi adalah serangkaian kegiatan penyelidikan dengan melakukan pencatatan, perekaman fakta, dan peninjauan dengan tujuan untuk memperoleh kebenaran tentang peristiwa yang diduga pelanggaran KEPP guna mencari dan menemukan Terduga Pelanggar.
14. Banding adalah upaya yang dilakukan oleh Pelanggar atau istri/suami, anak atau orang tua Pelanggar, atau Pendamping Pelanggar yang keberatan atas putusan Sidang KKEP dengan mengajukan permohonan kepada Komisi Banding Kode Etik Polri melalui Atasan Ankum.
15. Komisi Banding Kode Etik Polri yang selanjutnya disebut Komisi Banding adalah perangkat yang dibentuk di lingkungan Polri yang bertugas melaksanakan pemeriksaan pada tingkat banding.
16. Sidang Komisi Banding adalah sidang pada tingkat banding untuk memeriksa, memutus, menguatkan, mengubah atau membatalkan putusan KKEP.
17. Pemberhentian Tidak Dengan Hormat yang selanjutnya disingkat PTDH adalah pengakhiran masa dinas kepolisian oleh pejabat yang berwenang terhadap seorang Anggota Polri karena telah terbukti melakukan Pelanggaran KEPP, disiplin, dan/atau tindak pidana.
18. Atasan adalah setiap Anggota Polri yang karena pangkat dan/atau jabatannya berkedudukan lebih tinggi dari anggota yang dipimpin.
19. Bawahan adalah setiap Anggota Polri yang karena pangkat dan/atau jabatannya berkedudukan lebih rendah dari Atasan.
20. Atasan Yang Berhak Menghukum yang selanjutnya disingkat Ankum adalah atasan yang karena jabatannya diberi kewenangan menjatuhkan hukuman disiplin kepada bawahan yang dipimpinnya.
21. Atasan Ankum adalah atasan langsung Ankum.
22. Etika Kenegaraan adalah sikap moral Anggota Polri terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan kebhinekatunggalikaan.
23. Etika Kelembagaan adalah sikap moral Anggota Polri terhadap institusi yang menjadi wadah pengabdian dan patut dijunjung tinggi sebagai ikatan lahir batin dari semua insan Bhayangkara dengan segala martabat dan kehormatannya sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Tribrata dan Catur Prasetya.
24. Etika Kemasyarakatan adalah sikap moral Anggota Polri yang senantiasa memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum serta melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat dengan mengindahkan kearifan lokal dalam budaya Indonesia.
25. Etika Kepribadian adalah sikap perilaku perseorangan Anggota Polri dalam kehidupan beragama, kepatuhan, ketaatan, dan sopan santun dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
26. Demosi adalah mutasi yang bersifat hukuman berupa pelepasan jabatan dan penurunan eselon serta pemindahtugasan ke jabatan, fungsi, atau wilayah yang berbeda.
27. Perintah Kedinasan adalah perintah dari pejabat berwenang yang disertai dengan surat perintah tugas untuk melaksanakan tugas-tugas Kepolisian.


Pasal 2

Peraturan ini bertujuan guna:

a. menerapkan nilai-nilai Tribrata dan Catur Prasetya dalam pelaksanaan tugas dan wewenang umum Kepolisian;
b. memantapkan profesionalisme, integritas, dan akuntabilitas Anggota Polri;
c. menyamakan pola pikir, sikap, dan tindak Anggota Polri;
d. menerapkan standar profesi Polri dalam pelaksanaan tugas Polri; dan

e. memuliakan profesi Polri dengan penegakan KEPP.


Pasal 3

Prinsip-prinsip KEPP meliputi:

a. kepatutan, yaitu standar dan/atau nilai moral dari kode etik Anggota Polri yang dapat diwujudkan ke dalam sikap, ucapan, dan perbuatan;
b. kepastian hukum, yaitu adanya kejelasan pedoman bagi Anggota Polri dalam melaksanakan tugas, wewenang, dan tanggung jawab dalam pelaksanaan penegakan KEPP;
c. sederhana, yaitu pelaksanaan penegakan KEPP dilakukan dengan cara mudah, cepat, serta akuntabel dengan tetap menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan;
d. kesamaan hak, yaitu setiap Anggota Polri yang diperiksa atau dijadikan saksi dalam penegakan KEPP diberikan perlakuan yang sama tanpa membedakan pangkat, jabatan, status sosial, ekonomi, ras, golongan, dan agama;
e. aplikatif, yaitu setiap putusan Sidang KKEP dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya; dan
f. akuntabel, yaitu pelaksanaan penegakan KEPP dapat dipertanggungjawabkan secara administratif, moral, dan hukum berdasarkan fakta.


BAB II
ETIKA PROFESI POLRI

Bagian Kesatu
Ruang Lingkup

Pasal 4


Ruang lingkup pengaturan KEPP mencakup:
a. Etika Kenegaraan;
b. Etika Kelembagaan;
c. Etika Kemasyarakatan; dan
d. Etika Kepribadian.


Bagian Kedua
Materi Muatan KEPP

Pasal 5


Pengaturan KEPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi:

a. Etika Kenegaraan memuat pedoman berperilaku Anggota Polri dalam hubungan:
1. tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI);

2. Pancasila;

3. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan

4. kebhinekatunggalikaan.

b. Etika Kelembagaan memuat pedoman berperilaku Anggota Polri dalam hubungan:
1. Tribrata sebagai pedoman hidup;
2. Catur Prasetya sebagai pedoman kerja;
3. sumpah/janji Anggota Polri;
4. sumpah/janji jabatan; dan

5. sepuluh komitmen moral dan perubahan pola pikir (mindset).
c. Etika Kemasyarakatan memuat pedoman berperilaku Anggota Polri dalam hubungan:
1. pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas);

2. penegakan hukum;

3. pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat; dan
4. kearifan lokal, antara lain gotong royong, kesetiakawanan, dan toleransi.
d. Etika Kepribadian memuat pedoman berperilaku anggota Polri dalam hubungan:
1. kehidupan beragama;
2. kepatuhan dan ketaatan terhadap hukum; dan

3. sopan santun dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.


BAB III
KEWAJIBAN DAN LARANGAN

Bagian Kesatu
Kewajiban

Paragraf 1
Etika Kenegaraan

Pasal 6


Setiap Anggota Polri wajib:

a. setia kepada NKRI yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. menjaga keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;

c. menjaga terpeliharanya keutuhan wilayah NKRI;

d. menjaga terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa dalam kebhinekatunggalikaan dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat;
e. mengutamakan kepentingan bangsa dan NKRI daripada kepentingan sendiri, seseorang, dan/atau golongan;
f. memelihara dan menjaga kehormatan bendera negara sang merah putih, bahasa Indonesia, lambang negara Garuda Pancasila, dan lagu kebangsaan Indonesia Raya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
g. membangun kerja sama dengan sesama pejabat penyelenggara negara dan pejabat negara dalam pelaksanaan tugas; dan

h. bersikap netral dalam kehidupan berpolitik.


Paragraf 2
Etika Kelembagaan

Pasal 7

(1) Setiap Anggota Polri wajib:
a. setia kepada Polri sebagai bidang pengabdian kepada masyarakat, bangsa, dan negara dengan memedomani dan menjunjung tinggi Tribrata dan Catur Prasetya;
b. menjaga dan meningkatkan citra, soliditas, kredibilitas, reputasi, dan kehormatan Polri;
c. menjalankan tugas secara profesional, proporsional, dan prosedural;
d. melaksanakan perintah dinas untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan dalam rangka pembinaan karier dan peningkatan kemampuan profesionalisme Kepolisian;
e. menjalankan perintah dinas untuk melaksanakan mutasi dalam rangka pembinaan personel, profesi, karier, dan penegakan KEPP;
f. mematuhi hierarki dalam pelaksanaan tugas;
g. menyelesaikan tugas dengan saksama dan penuh rasa tanggung jawab;
h. memegang teguh rahasia yang menurut sifatnya atau menurut perintah kedinasan harus dirahasiakan;
i. menampilkan sikap kepemimpinan melalui keteladanan, ketaatan pada hukum, kejujuran, keadilan, serta menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam melaksanakan tugas;
j. melaksanakan perintah kedinasan dalam rangka penegakan disiplin dan KEPP berdasarkan laporan/pengaduan masyarakat tentang adanya dugaan pelanggaran disiplin dan/atau Pelanggaran KEPP sesuai dengan kewenangan;
k. melaksanakan perintah kedinasan yang berkaitan dengan pengawasan internal di lingkungan Polri dalam rangka penguatan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP);
l. menghargai perbedaan pendapat yang disampaikan dengan cara sopan dan santun pada saat pelaksanaan rapat, sidang, atau pertemuan yang bersifat kedinasan;
m. mematuhi dan menaati hasil keputusan yang telah disepakati dalam rapat, sidang, atau pertemuan yang bersifat kedinasan;
n. mengutamakan kesetaraan dan keadilan gender dalam melaksanakan tugas; dan
o. mendahulukan pengajuan laporan keberatan atau komplain kepada Ankum atau Atasan Ankum berkenaan dengan keputusan yang dinilai bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebelum mengajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
(2) Setiap Anggota Polri yang berkedudukan sebagai Atasan wajib:
a. menunjukan kepemimpinan yang melayani (servant leadership), keteladanan, menjadi konsultan yang dapat menyelesaikan masalah (solutif), serta menjamin kualitas kinerja Bawahan dan kesatuan (quality assurance);
b. menindaklanjuti dan menyelesaikan hambatan tugas yang dilaporkan oleh Bawahan sesuai tingkat kewenangannya; dan
c. segera menyelesaikan dugaan Pelanggaran yang dilakukan oleh Bawahan.
(3) Setiap Anggota Polri yang berkedudukan sebagai Bawahan wajib:
a. melaporkan kepada Atasan apabila mendapat hambatan dalam pelaksanaan tugas;
b. melaksanakan perintah Atasan terkait dengan pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangannya;
c. menolak perintah Atasan yang bertentangan dengan norma hukum, norma agama, dan norma kesusilaan; dan
d. melaporkan kepada atasan pemberi perintah atas penolakan perintah yang dilakukannya untuk mendapatkan perlindungan hukum dari atasan pemberi perintah.
(4) Sesama Anggota Polri wajib:
a. saling menghargai dan menghormati dalam melaksanakan tugas;

b. bekerja sama dalam rangka meningkatkan kinerja;

c. melaporkan setiap pelanggaran KEPP atau disiplin atau tindak pidana yang dilakukan oleh Anggota Polri, yang dilihat atau diketahui secara langsung kepada pejabat yang berwenang;
d. menunjukan rasa kesetiakawanan dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip saling menghormati; dan
e. saling melindungi dan memberikan pertolongan kepada yang terluka dan/atau meninggal dunia dalam melaksanakan tugas.
(5) Pejabat Polri yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c, wajib memberikan perlindungan.


Pasal 8

Setiap Anggota Polri wajib mendahulukan peran, tugas, wewenang dan tanggung jawab berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan daripada status dan hak, dengan mengindahkan norma agama, norma kesusilaan, dan nilai-nilai kearifan lokal.


Pasal 9

Setiap Anggota Polri yang melaksanakan tugas penegakan hukum sebagai penyelidik, penyidik pembantu, dan penyidik wajib melakukan penyelidikan, penyidikan perkara pidana, dan menyelesaikannya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan serta melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya kepada atasan penyidik.


Paragraf 3
Etika Kemasyarakatan

Pasal 10


Setiap Anggota Polri wajib:

a. menghormati harkat dan martabat manusia berdasarkan prinsip dasar hak asasi manusia;
b. menjunjung tinggi prinsip kesetaraan bagi setiap warga negara di hadapan hukum;
c. memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan cepat, tepat, mudah, nyaman, transparan, dan akuntabel berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. melakukan tindakan pertama kepolisian sebagaimana yang diwajibkan dalam tugas kepolisian, baik sedang bertugas maupun di luar tugas.
e. memberikan pelayanan informasi publik kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
f. menjunjung tinggi kejujuran, kebenaran, keadilan, dan menjaga kehormatan dalam berhubungan dengan masyarakat.


Paragraf 4
Etika Kepribadian

Pasal 11


Setiap Anggota Polri wajib:

a. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. bersikap jujur, terpercaya, bertanggung jawab, disiplin, bekerja sama, adil, peduli, responsif, tegas, dan humanis;
c. menaati dan menghormati norma kesusilaan, norma agama, nilai-nilai kearifan lokal, dan norma hukum;
d. menjaga dan memelihara kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara santun; dan
e. melaksanakan tugas kenegaraan, kelembagaan, dan kemasyarakatan dengan niat tulus/ikhlas dan benar, sebagai wujud nyata amal ibadahnya.


Bagian Kedua
Larangan

Paragraf 1
Etika Kenegaraan

Pasal 12


Setiap Anggota Polri dilarang:

a. terlibat dalam gerakan-gerakan yang nyata-nyata bertujuan untuk mengganti atau menentang Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. terlibat dalam gerakan menentang pemerintah yang sah;

c. menjadi anggota atau pengurus partai politik;
d. menggunakan hak memilih dan dipilih; dan/atau
e. melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.


Paragraf 2
Etika Kelembagaan

Pasal 13

(1) Setiap Anggota Polri dilarang:
a. melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, dan/atau gratifikasi;
b. mengambil keputusan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan karena pengaruh keluarga, sesama anggota Polri, atau pihak ketiga;
c. menyampaikan dan menyebarluaskan informasi yang tidak dapat dipertangungjawabkan kebenarannya tentang institusi Polri dan/atau pribadi Anggota Polri kepada pihak lain;
d. menghindar dan/atau menolak perintah kedinasan dalam rangka pemeriksaan internal yang dilakukan oleh fungsi pengawasan terkait dengan laporan/pengaduan masyarakat;
e. menyalahgunakan kewenangan dalam melaksanakan tugas kedinasan;
f. mengeluarkan tahanan tanpa perintah tertulis dari penyidik, atasan penyidik atau penuntut umum, atau hakim yang berwenang; dan
g. melaksanakan tugas tanpa perintah kedinasan dari pejabat yang berwenang, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Setiap Anggota Polri yang berkedudukan sebagai Atasan dilarang:
a. memberi perintah yang bertentangan dengan norma hukum, norma agama, dan norma kesusilaan; dan
b. menggunakan kewenangannya secara tidak bertanggungjawab.
(3) Setiap Anggota Polri yang berkedudukan sebagai Bawahan dilarang:
a. melawan atau menentang Atasan dengan kata-kata atau tindakan yang tidak sopan; dan
b. menyampaikan laporan yang tidak benar kepada Atasan.
(4) Sesama Anggota Polri dilarang:
a. saling menista dan/atau menghina;

b. meninggalkan Anggota Polri lain yang sedang bersama melaksanakan tugas;

c. melakukan tindakan yang diskriminatif;

d. melakukan permufakatan pelanggaran KEPP atau disiplin atau tindak pidana; dan

e. berperilaku kasar dan tidak patut.


Pasal 14

Setiap Anggota Polri dalam melaksanakan tugas penegakan hukum sebagai penyelidik, penyidik pembantu, dan penyidik dilarang:

a. mengabaikan kepentingan pelapor, terlapor, atau pihak lain yang terkait dalam perkara yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. menempatkan tersangka di tempat bukan rumah tahanan negara/Polri dan tidak memberitahukan kepada keluarga atau kuasa hukum tersangka;
c. merekayasa dan memanipulasi perkara yang menjadi tanggung jawabnya dalam rangka penegakan hukum;
d. merekayasa isi keterangan dalam berita acara pemeriksaan;
e. melakukan pemeriksaan terhadap seseorang dengan cara memaksa untuk mendapatkan pengakuan;
f. melakukan penyidikan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan karena adanya campur tangan pihak lain;
g. menghambat kepentingan pelapor, terlapor, dan pihak terkait lainnya yang sedang berperkara untuk memperoleh haknya dan/atau melaksanakan kewajibannya;
h. merekayasa status barang bukti sebagai barang temuan atau barang tak bertuan;
i. menghambat dan menunda-nunda waktu penyerahan barang bukti yang disita kepada pihak yang berhak sebagai akibat dihentikannya penyidikan tindak pidana;
j. melakukan penghentian atau membuka kembali penyidikan tindak pidana yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
k. melakukan hubungan atau pertemuan secara langsung atau tidak langsung di luar kepentingan dinas dengan pihak-pihak terkait dengan perkara yang sedang ditangani;
l. melakukan pemeriksaan di luar kantor penyidik kecuali ditentukan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
m. menangani perkara yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.


Paragraf 3
Etika Kemasyarakatan

Pasal 15


Setiap Anggota Polri dilarang:

a. menolak atau mengabaikan permintaan pertolongan, bantuan, atau laporan dan pengaduan dari masyarakat yang menjadi lingkup tugas, fungsi dan kewenangannya;
b. mencari-cari kesalahan masyarakat yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. menyebarluaskan berita bohong dan/atau menyampaikan ketidakpatutan berita yang dapat meresahkan masyarakat;
d. mengeluarkan ucapan, isyarat, dan/atau tindakan dengan maksud untuk mendapatkan imbalan atau keuntungan pribadi dalam memberikan pelayanan masyarakat;
e. bersikap, berucap, dan bertindak sewenang-wenang;
f. mempersulit masyarakat yang membutuhkan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan;
g. melakukan perbuatan yang dapat merendahkan kehormatan perempuan pada saat melakukan tindakan kepolisian; dan/atau
h. membebankan biaya tambahan dalam memberikan pelayanan di luar ketentuan peraturan perundang-undangan.


Paragraf 4
Etika Kepribadian

Pasal 16


Setiap Anggota Polri dilarang:

a. menganut dan menyebarkan agama dan kepercayaan yang dilarang oleh pemerintah;
b. mempengaruhi atau memaksa sesama Anggota Polri untuk mengikuti cara-cara beribadah di luar keyakinannya;
c. menampilkan sikap dan perilaku menghujat, serta menista kesatuan, Atasan dan/atau sesama Anggota Polri; dan/atau
d. menjadi pengurus dan/atau anggota lembaga swadaya masyarakat dan organisasi kemasyarakatan tanpa persetujuan dari pimpinan Polri.


BAB IV
PENEGAKAN KEPP

Bagian Kesatu
Kelembagaan

Pasal 17

(1) Penegakan KEPP dilaksanakan oleh:
a. Propam Polri bidang Pertanggungjawaban Profesi;
b. KKEP;
c. Komisi Banding;
d. pengemban fungsi hukum Polri;
e. SDM Polri; dan

f. Propam Polri bidang rehabilitasi personel.
(2) Penegakan KEPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:
a. pemeriksaan pendahuluan;
b. Sidang KKEP;
c. Sidang Komisi Banding;
d. penetapan administrasi penjatuhan hukuman;
e. pengawasan pelaksanaan putusan; dan
f. rehabilitasi personel.
(3) Pemeriksaan Pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilaksanakan dengan cara audit investigasi, pemeriksaan, dan pemberkasan oleh fungsi Propam Polri bidang Pertanggungjawaban Profesi.
(4) Sidang KKEP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilaksanakan oleh KKEP guna memeriksa dan memutus perkara Pelanggaran yang dilakukan oleh Terduga Pelanggar.
(5) Sidang Komisi Banding sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilaksanakan oleh Komisi Banding guna memeriksa dan memutus keberatan yang diajukan oleh Pelanggar, suami/istri, anak, orang tua atau pendamping.
(6) Setelah memperoleh keputusan dari Atasan Ankum, penetapan administrasi penjatuhan hukuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d, dilaksanakan oleh fungsi SDM Polri.
(7) Pengawasan pelaksanaan putusan dan rehabilitasi personel sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dan huruf f dilaksanakan oleh fungsi Propam Polri yang mengemban bidang rehabilitasi personel.
(8) Tata cara penegakan KEPP sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Kapolri.


Pasal 18

(1) Dalam penegakan KEPP, Terduga Pelanggar dapat didampingi Anggota Polri yang ditunjuk oleh Terduga Pelanggar pada tingkat pemeriksaan pendahuluan, Sidang KKEP, dan Sidang Komisi Banding.
(2) Dalam hal Terduga Pelanggar tidak menunjuk Anggota Polri sebagai pendamping, pengemban fungsi hukum wajib menunjuk pendamping.
(3) Untuk kepentingan pembelaan, Terduga Pelanggar diberi hak untuk mengajukan saksi-saksi yang meringankan.


Bagian Kedua
Sidang KKEP dan Sidang Komisi Banding

Pasal 19

(1) Sidang KKEP dilakukan terhadap Pelanggaran:
a. KEPP sebagaimana dimaksud dalam peraturan ini;

b. Pasal 12 , Pasal 13 , dan Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri; dan
c. Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri.
(2) Sidang KKEP dapat dilaksanakan tanpa dihadiri oleh Terduga Pelanggar setelah dipanggil berturut-turut sebanyak 2 (dua) kali tidak hadir.
(3) Sidang Komisi Banding dilakukan terhadap permohonan banding yang diajukan oleh Pelanggar atau istri/suami, anak atau orang tua Pelanggar, atau pendampingnya atas putusan sanksi administratif berupa rekomendasi oleh Sidang KKEP kepada Komisi Banding melalui atasan Ankum.


Bagian Ketiga
Sanksi Pelanggaran KEPP

Pasal 20

(1) Anggota Polri yang diduga melakukan Pelanggaran terhadap kewajiban dan/atau larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 16 dinyatakan sebagai Terduga Pelanggar.
(2) Terduga Pelanggar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sebagai Pelanggar setelah dilakukan pemeriksaan dan mendapatkan putusan melalui Sidang KKEP.


Pasal 21

(1) Anggota Polri yang dinyatakan sebagai Pelanggar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) dikenakan sanksi Pelanggaran KEPP berupa:
a. perilaku Pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela;
b. kewajiban Pelanggar untuk meminta maaf secara lisan di hadapan Sidang KKEP dan/atau secara tertulis kepada pimpinan Polri dan pihak yang dirugikan;
c. kewajiban Pelanggar untuk mengikuti pembinaan mental kepribadian, kejiwaan, keagamaan dan pengetahuan profesi, sekurang-kurangnya 1 (satu) minggu dan paling lama 1 (satu) bulan;
d. dipindahtugaskan ke jabatan berbeda yang bersifat Demosi sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun;
e. dipindahtugaskan ke fungsi berbeda yang bersifat Demosi sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun;
f. dipindahtugaskan ke wilayah berbeda yang bersifat Demosi sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun; dan/atau

g. PTDH sebagai anggota Polri.

(2) Sanksi Pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g merupakan sanksi administratif berupa rekomendasi.
(3) Sanksi administratif berupa rekomendasi PTDH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g dikenakan kepada Pelanggar KEPP yang melakukan Pelanggaran meliputi:
a. dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan menurut pertimbangan pejabat yang berwenang tidak dapat dipertahankan untuk tetap berada dalam dinas Polri;
b. diketahui kemudian memberikan keterangan palsu dan/atau tidak benar pada saat mendaftarkan diri sebagai calon anggota Polri;
c. melakukan usaha atau perbuatan yang nyata-nyata bertujuan mengubah Pancasila, terlibat dalam gerakan, atau melakukan perbuatan yang menentang Negara dan/atau Pemerintah Republik Indonesia;
d. melanggar sumpah/janji anggota Polri, sumpah/janji jabatan dan/atau KEPP;
e. meninggalkan tugasnya secara tidak sah dalam waktu lebih dari 30 (tiga puluh) hari kerja secara berturut-turut;
f. melakukan perbuatan dan berperilaku yang dapat merugikan dinas kepolisian, antara lain berupa:
1. kelalaian dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, dengan sengaja dan berulang-ulang dan tidak menaati perintah atasan, penganiayaan terhadap sesama anggota Polri, penggunaan kekuasaan di luar batas, sewenang-wenang, atau secara salah, sehingga dinas atau perseorangan menderita kerugian;
2. perbuatan yang berulang-ulang dan bertentangan dengan kesusilaan yang dilakukan di dalam atau di luar dinas; dan
3. kelakuan atau perkataan di muka khalayak ramai atau berupa tulisan yang melanggar disiplin.

g. melakukan bunuh diri dengan maksud menghindari penyidikan dan/atau tuntutan hukum atau meninggal dunia sebagai akibat tindak pidana yang dilakukannya;
h. menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik yang diketahui kemudian telah menduduki jabatan atau menjadi anggota partai politik dan setelah diperingatkan/ditegur masih tetap mempertahankan statusnya itu; dan
i. dijatuhi hukuman disiplin lebih dari 3 (tiga) kali dan dianggap tidak patut lagi dipertahankan statusnya sebagai anggota Polri.
(4) Sanksi administratif berupa rekomendasi PTDH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g dapat dikenakan terhadap Terduga Pelanggar yang melakukan Pelanggaran sebagaimana dimaksud pasal 6 sampai dengan pasal 16 peraturan ini.


Pasal 22

(1) Sanksi administratif berupa rekomendasi PTDH dikenakan melalui Sidang KKEP terhadap:
a. pelanggar yang dengan sengaja melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih dan telah diputus oleh pengadilan yang berkekuatan hukum tetap; dan
b. pelanggar yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (3) huruf e, huruf g, huruf h, dan huruf i.
(2) Sanksi administratif berupa rekomendasi PTDH sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (3) huruf a sampai dengan huruf d, dan huruf f diputuskan melalui Sidang KKEP setelah terlebih dahulu dibuktikan pelanggaran pidananya melalui proses peradilan umum sampai dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.


Pasal 23

(1) Dalam hal terjadi perdamaian (dading) antara anggota Polri yang melakukan tindak pidana karena kelalaiannya (delik culpa) dan/atau delik aduan dengan korban/pelapor/pengadu, yang dikuatkan dengan surat pernyataan perdamaian, Sidang KKEP tetap harus diproses guna menjamin kepastian hukum.
(2) Surat pernyataan perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijadikan pertimbangan KKEP dalam penjatuhan putusan.


Pasal 24

(1) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a diputuskan dan disampaikan kepada Pelanggar di hadapan Sidang KKEP.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b disampaikan Pelanggar di hadapan Sidang KKEP dan/atau melalui surat.
(3) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c dilaksanakan oleh pengemban fungsi SDM Polri bidang perawatan personel, panitia penguji kesehatan personel polri, fungsi propam polri bidang rehabilitasi personel, atau Lemdikpol, dengan biaya dari satker penyelenggara.
(4) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf d, huruf e, dan huruf f dilaksanakan oleh Pejabat Polri yang berwenang setelah memperoleh keputusan dari Atasan Ankum.
(5) Sanksi berupa rekomendasi PTDH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf g diajukan kepada Atasan Ankum dan dilaksanakan oleh fungsi SDM Polri setelah memperoleh keputusan dari Atasan Ankum.


Pasal 25

(1) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c bersifat mengikat sejak ditetapkan dalam Sidang KKEP.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g bersifat mengikat sejak keputusan ditetapkan oleh pejabat Polri yang berwenang.
(3) Pelanggar yang dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g, berhak mengajukan banding kepada Komisi Banding melalui atasan Ankum sesuai dengan tingkatannya paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya surat keputusan Sidang KKEP.


Pasal 26

(1) Terhadap Terduga Pelanggar KEPP yang diancam dengan sanksi administratif berupa rekomendasi putusan PTDH diberikan kesempatan untuk mengajukan pengunduran diri dari dinas Polri atas dasar pertimbangan tertentu dari Atasan Ankum sebelum pelaksanaan Sidang KKEP.
(2) Pertimbangan tertentu dari Atasan Ankum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada Terduga Pelanggar:
a. memiliki masa dinas paling sedikit 20 (dua puluh) tahun;
b. memiliki prestasi, kinerja yang baik, dan berjasa kepada Polri sebelum melakukan Pelanggaran; dan
c. melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.


Pasal 27

(1) Dalam hal terjadi pelanggaran kumulatif antara pelanggaran disiplin dan KEPP, penegakannya dilakukan melalui mekanisme sidang disiplin atau Sidang KKEP berdasarkan pertimbangan Atasan Ankum dari terperiksa/Terduga Pelanggar serta pendapat dan saran hukum dari pengemban fungsi hukum.
(2) Terhadap pelanggaran yang telah diputus melalui mekanisme sidang disiplin tidak dapat dikenakan Sidang KKEP atau yang telah diputus dalam Sidang KKEP tidak dapat dikenakan sidang disiplin.


Pasal 28

(1) Penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) bersifat kumulatif dan/atau alternatif sesuai dengan penilaian dan pertimbangan Sidang KKEP.
(2) Penjatuhan sanksi KEPP tidak menghapuskan tuntutan pidana dan/atau perdata.
(3) Penjatuhan sanksi KEPP gugur karena:
a. Pelanggar meninggal dunia; atau

b. Pelanggar dinyatakan sakit jiwa oleh panitia penguji kesehatan personel Polri.
(4) Penjatuhan sanksi KEPP terhadap Pelanggar dapat digugurkan atau dibatalkan atas pertimbangan Sidang KKEP.
(5) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa penilaian bahwa perbuatan pelanggar:
a. benar-benar dilakukan untuk kepentingan tugas kepolisian;
b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;
c. patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
d. layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan/atau

e. menghormati hak asasi manusia.


Pasal 29

(1) Dalam hal Sidang KKEP tidak menemukan bukti-bukti adanya Pelanggaran KEPP, Terduga Pelanggar diputus bebas.
(2) Terduga Pelanggar yang diputus bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib direhabilitasi dan dikembalikan hak-haknya.


BAB V
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 30


Pada saat peraturan ini mulai berlaku, semua penanganan Pelanggaran KEPP yang sedang dalam proses pemeriksaan pendahuluan dan dalam proses Sidang KKEP, diselesaikan menggunakan ketentuan yang lama sampai memperoleh keputusan tetap.


BAB VI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 31


Pada saat Peraturan ini mulai berlaku:

a. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol.: 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol.: 15 Tahun 2006 tentang Kode Etik Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
c. peraturan lain yang mengatur tentang Kode Etik Profesi di lingkungan Polri;

dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 32

Peraturan Kapolri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Kapolri ini diundangkan dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Oktober 2011
KEPALA KEPOLISIAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,

TIMUR PRADOPO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 4 Oktober 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

PATRIALIS AKBAR